Jumat, 29 Agustus 2008

Jumat, 01 Agustus 2008

Prospek dan Tantangan Bank Syariah Di Indonesia “Ekonomi Syariah : Atraktivness pasar umat Versus Memenuhi Panggilan Syariah”



Pernah dimuat di Buletin Tampan Edisi V Tahun 2007 di Jogjakarta

Prospek Bank Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia adalah sebuah opportunity dengan kemungkinan yang sangat besar. Untuk memudahkan penulis mencoba untuk berasumsi bahwa jika kita berbicara mengenai Ekonomi Syariah maka didalamnya sudah included lembaga Keuangan Syariah ( Bank Syariah, BPR Syariah maupun BMT). Secara sederhana potensi pasar dari perbankan syariah khususnya umat Islam Indonesia yang besar kurang lebih 180 juta umat ( dengan menggunakan asumsi 85% penduduk Indonesia adalah Muslim) dan hingga saat ini baru sebagian kecil dari mereka terlibat dan berinteraksi dengan kegiatan Syariah. Bahkan dalam Laporan BI tentang Perkembangan Perbankan Syariah 2004 dalam posisi November 2004 terlihat bahwa Perbankan Syariah memiliki Aset dari 7,858 Triliun Rupiah menjadi 14,035 Triliun Rupiah, Laba (Rugi) tahun jalan 42.7 Miliar naik menjadi 173.5 Miliar , FDR ( Finacing to deposit ratio) dari 96,6% menjadi 104,3%1. Momentum kinerja perbankan syariah ini adalah sebuah peluang dan tantangan yang terbuka lebar untuk kegiatan perbankan Syariah di Indonesia.

Data yang cukup menggembirakan adalah bahwa total asset bank syariah di Indonesia sampai dengan Desember 2004 mencapai Rp. 15 triliun, dengan pertumbuhan total asset Bank Syariah Indonesia sejak Desember 2003-Desember 2004 mencapai 93,54%2

Seorang Prof. Thoby Mutis mengatakan bahwa” teori ekonomi dari Barat sudah membuat negeri Ini hancur” 3, hal ini bisa dirunut bahwa selama ini pembangunan ekonomi Indonesia lebih mengacu pada sebuah cetak biru “blue print” perekonomian Barat yang bersifat kapitalistik dan tidak semua hal yang berasal dari Barat itu dapat seluruhnya diterapkan dalam kondisi Indonesia.

Pola ekonomi yang lebih bisa menggambarkan ruh cultural bangsa ini adalah ekonomi berprinsip bagi hasil. Hal ini bisa kita lihat dalam berbagai contoh pola bagi hasil di dalam pertanian tradisional misalnya dengan system “Maro ( bagi dua), mertelu ( bagi tiga) antara pemilik lahan sawah dan pengelola sawah yang merupakan penyewa tanah sawah tersebut, inilah system perekonomian yang relevan dan telah berkembang dalam masyarakat yang berkultur patembayan4, sebagaimana halnya dengan system syariah, dimana dalam system ini tidak ada penentuan hasil sejak dari awal karena dalam usaha dan bisnis tidak selalu dapat ditentukan secara definite berapa keuntungan yang akan dihasilkan.

Krisis yang berkepanjangan akhirnya terjadi dan dampak yang paling terasa bagi masyarakat di tingkatan bawah adalah melemahnya daya beli, yaitu dengan sejumlah uang yang dimilikinya ternyata kini barang dan jasa yang bisa diperolehnya semakin berkurang, dan terlebih lagi tingkat pendapatan merekapun semakin melemah pula karena menurunnya kesempatan kerja dan melambatnya perekonomian. Hal ini niscaya akan memperbanyak jumlah anggota masyarakat yang termasuk miskin.

Peran perbankan salah satunya untuk memberikan akses modal dan kredit kepada masyarakat untuk membangkitkan (generate) kegiatan usaha ekonomi produktif terutama akses bagi mereka yang bergerak dibidang usaha kecil dan menengah yang notabene akan sangat gamang dan terbentur berbagai persyaratan untuk bisa berhubungan dengan industri perbankan dengan skala yang besar.

Sebuah kenyataan lain yang menggembirakan adalah bahwa ternyata ekonomi rakyat jika dikembangkan lebih lanjut ternyata mampu menjadi penyangga (buffer) perekonomian daerah5. Dengan demikian perbankan Syariah dan rakyat kecil pada umumnya sebenarnya sangat erat dan bisa saling menguatkan untuk mengatasi kemiskinan.

Dalam system perbankan Syariah suatu bentuk kerjasama harus lahir bukan karena hanya pertimbangan keuntungan materi semata-mata, namun kerjasama antara bank syariah dengan nasabah adalah sebuah ikatan kerjasama yang dibangun di atas sebuah pondasi kepercayaan, kejujuran dan keterbukaan yang tidak lain didasarkan pada sebuah etos kerja pribadi Muslim yang ingin semua kegiatan usaha yang dilakukkannya adalah tidak hanya memberikan keuntungan materi semata namun juga secara aturan agama dapat dipertanggungjawabkan kehalalan dan kebaikannya. Sehingga justru nantinya ekonomi Syariah bias menjadi “akses” bagi pembangunan mental bangsa.

Namun kenyataan yang harus dihadapi adalah bahwa masih ada kendala perusahaan dan lembaga keuangan syariah dalam menerapkan prinsip syariah dalam kegiatan ekonomi. Kendala ini terjadi karena meskipun sudah menerapkan system syariah sendiri dengan melakasanakan rukun dan syarat suatu akad namun tidak mengetahui hakekat dari kegiatan syariah tersebut.6

Kriteria Perniagaan dalam Islam. Yang paling elementer adalah dihalalkannya perniagaan dan diharamkan riba, ini adalah sebuah hal yang tidak bisa ditawar dan harus melandasi setiap apapun kegiatan ekonomi perbankan Syariah..

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah Kriteria Syariah sebagaiamana yang diatur oleh BI yang telah ada sekarang apakah telah benar-benar membebaskan perbankan syariah dari jeratan riba?, apalagi dalam kasus bank syariah yang berada dibawah payung besar bank konvensional bisa disebut sebagai bank syariah, karena bukankah prinsip bank konvensional adalah tidak lain adalah menggunakan system bunga/rate yang notabene itu adalah riba yang jelas-jelas itu haram hukumnya. Sedangkan kriteria bank syariah adalah salah satunya untuk menghindarkan dari riba, sementara kegiatan bank syariah tersebut sercara langsung maupun tidak langsung akan “tercemari” oleh aspek bunga bank konvensioanal.

Bahasan kami kali ini tidak ingin memberikan gambaran secara rinci mengenai hal-hal tekhnis perbankan Syariah, namun lebih pada tataran untuk ikut berparsipasi dalam membangun pondasi yang benar dan lurus mengenai kegiatan perbankan Syariah sesuai dengan prinsip-prinsip Al Qur’an dan hadist yang benar. Hal ini penting karena hanya dengan “syariah complience” ketaatan kepada syariah maka semua pekerjaan jika tidak didasarkan pada sebuah pondasi dan bangunan yang benar, maka nantinya tidak lain hanya akan menimbulkan sebuah kegiatan yang berdimensi duniawi semata, namun juga mempunyai dimensi kesadaran transendetal yang “beyond” diatas semua nilai materi semata. Hal ini penting karena sebagai umat Islam harus bisa melakukan segala sesuatu apapun dengan berlandaskan untuk menggapai sebuah kemuliaan yang lebih besar yaitu untuk menggapai Ridho Ilahi.


Pertaruhan Nama Baik Perbankan Syariah

Perbankan syariah harus berangkat dari sebuah niatan nawaitu serta spirit yang menjadi “ruh’ untuk selamat dalam berusaha dan menyelamatkan umat Islam dari bahaya riba perbankan konvensional serta perniagaan yang tidak sesuai dengan tuntutan Dinul Islam. Bank Syariah dan system ekonomi yang melingkupinya agar bukan menjadi bentuk kompromi pragmatis dan ideal dari penerapan prinsip Syariah dalam kegiatan ekonomi.7 Namun menjadi sebuah pondasi yang kuat dengan dimensi yang integrative antara kehidupan dunia dan ukhrowi dalam kegiatan ekonomi umat.

Apakah Model Perbankan syariah yang berkembang di Indonesia sudah benar-benar Bank “ Yang syar’i” menurut Al Qur’an dan Hadit. Aturan main-(rule of conduct) apakah sudah benar-benar Islam. Kalaupun memang belum ada aturan main secara terperinci maka sudah saatnya disusun aturan perbankan Syariah secara lengkap, detail serta meminimalisir terjadinya berbagai penyimpangan terhadap peraturan yang ada (loop hole) dikarenakan berbagai macam interpretasi secara peraturan yang tidak secara jelas, definite mengatur suatu permasalahan yang timbul. Perselisihan (dispute) dalam kegiatan perbankan ataupun kegiatan ekonomi lain dimungkinkan timbul karena suatu perjanjian/ akad tidak didasarkan pada sebuah intpretasi yang sama mengenai sebuah aturan yang hal itu dimungkinkan karena adanya informasi yang tidak transparan atau ketidaktahuan salah satu pihak terhadap peraturan tersebut. Di sinilah perlu dilahirkan sebuah sinergi yang untuk memberikan pengawasan aspek profesionalisme antara BI sebagai pemegang otoritas moneter dan DPS ( Dewan Pengawas Syariah) sebagai lembaga yang mengawasi aspek kepatutan usaha secara Syariah8.


Menghindari pelunturan “spirit” syariah dalam praktek Perbankan Syariah

Ruh, spirit adalah kekuatan yang menggerakan untuk berbuat dengan berlandaskan pada sebuah keyakinan, “spirit” syariah dalam praktek perbankan Syariah adalah sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Hak ini sangat penting karena jika sudah terjebak dengan niatan awal yang tidak mencerminkan nilai Syariah, maka yang akan terlahir hanyalah sebuah kepalsuan dan hal ini justru akan menjerumuskan umat. Jangan sampai Label yang disandang memakai Bank syariah, namun spirit yang ada tidak lebih dari bank konvensional yang lain yang merupakan derivasi dari system perbankan kapitalisme. Karena jika ini yang terjadi maka tidak lain ini masih merupakan bentuk hegemomoni kekuatan kapitalisme yang mengangkangi umat Islam, hanya semata-mata bahwa umat Islam mempunyai captive market yang sangat besar dan potensial serta terkadang masih sangat tergiur dengan eksotisme label Syariah, namun terkadang tidak “aware” apakah memang itu yang “trully Syariah” ataukah sekedar perpanjangan tangan dari kekuatan yang sebenarnya jauh atau sama sekali tidak mencerminkan Islam dan bahkan ingin menjatuhkan keagungan Islam.

Perbankan Syariah jangan hanya menjadi emergency exit, namun harus menjadi main entry perbankan Islam. Perbankan Islam (Syariah ) berasal dari sebuah kesatuan yang holistic dan integral dengan semua aspek kehidupan Islam, aneh jika bank syariah hanya menjadi sebuah sub-sistem dari perbankan konvensional ( bank konvensional membuka counter syariah, apalagi bank konvensional yang track recordnya tidak begitu sering bersinggungan dengan umat Islam). Bank syariah harus bisa menunjukkan performance yang bisa membuktikan bahwa bank syariah bisa bersaing dan memiliki keunggulan kinerja dari bank konvensional karena memang telah terbukti secara empiris bank syariah relatif tahan terhadap berbagai guncangan krisis ekonomi dan yang terutama adalah bahwa kegiatan bank syariah didasarkan pada sebuah niatan untuk hidup secara selamat dan menyelamatkan sebagaimana konsep dari Islam itu sendiri yaitu untuk menyelamatkan semua aspek baik kehuidupan dunia dan akhirat.

Perbankan Syariah harus bisa mencerminkan nilai/value dari Islam itu sendiri, jangan sampai nama Islam tercoreng karena kinerja perbankan Syariah yang asal-asalan , menimbulkan permasalahan dan penyimpangan karena terjadinya moral hazard dalam kinerjanya. Hal ini bisa dibuktikan bahwa kinerja perbankan Syariah memang bisa memberikan keunggulan lebih dibandingan dengan perbankan konvensional . Jika kembali melihat data dari BI diatas maka dengan FDR sebesar lebih dari 100% menunjukkan bahwa fungsi intermediasi bank terlahdapat berjalan dengan baik dan kualitas pembiayaan bank syariah relatif tinggi yang ditunjukkan dengan nilai NPF ( Non performing finacing / pembiayaan yang bermasalah) kurang dari 5%.9 Jika melihat berbagai gambaran tersebut, maka hal itu merupakan sebuah pengakuan kinerja perbankan syariah yang sudah teruji dan seperti orang berselancar maka saat ini perbankan syariah sedang berada di atas ombak, dan tantangannya adalah bagaimana bisa terus menjaga momentum yang baik ini, sehingga tidak sekedar surfing the wave dalam dunia perbankan nasional namun juga bisa menjadi surviving the fittest dalam persaingan perbankan yang sedemikian keras ini.

Perbankan syariah akan bisa survive dan menggungguli kinerja perbankan konvensional, namun hal ini tidak cukup memenuhi “necessary condition” yaitu dengan mengusung label Syariah dengan justifikasi halal-haram terhadap bunga bank semata-mata sebagai icon unggulan , namun juga harus bisa memenuhi “sufficient condition” yaitu kinerja perbankan Syariah yang memang teruji secara empiris dengan menggunakan system Syariah bisa menggungguli kinerja perbankan konvensional.

Wallahu hu alam


Arief Hartanto SE

Pemerhati Ekonomi Syariah
















2 Asset Bank Syariah Mencapai Rp. 15 Triliun, Harian Umum Republika, 3 3aret 2005 hal.15

3 Ekonomi, Syariah itu Sederhana. Harian Umum Republika, 5 Februari 2005 hal. 15

4 Koentjaraningrat, Sosiologi suatu Pengantar”, Jakarta, 1981, hal, 11

5 Mubyarto, Prospek Otonomi Daerah ddan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi, FAkultas ekonomi UGM, dan Penerbit Aditya Media Yogyakarta, Edisi 1, Agustus 2000, hal. 100

6 Reformasi Sistem Ekonomi, Iwan Poncowinoto, Maklah pada Summit Meeting Nasional ekonomi Islam 2004, “Agenda Gerakan Ekonomi Islam Indonesia satu Dekade 2004-2014”, UII, Jogjakarta, 23-24 Maret 2004. hal 7.

7 Ibid, Poncowinoto, hal 8.

8 Prospek Bank Syariah Makin Cerah, Majalah Hidayatullah Edisi Maret 2005, hal.28

9 Bank Syariah terbukti Tangguh, Namun Masih harus Terus Tingkatkan Kualitas, Republika, Seni 4 April 2005, hal. 17.

It's me my friend